Tentang Air dan Kota (Catatan Diskusi [C]Air 1)

 

“penataan ruang haruslah beradab dan dalam proses pembangunan dan penataan kawasannya harus memperhatikan aspek ketersediaan ruang terbuka sebagai bagian dari pembentukan karakter masyarakat.”

-Heri Gonku

Gelombang ideologi privatisasi air pada tahun 1990-an secara bersamaan juga merupakan usaha untuk memperjuangkan pemenuhan air bersih untuk semua. Kegagalan akan privatisasi air di kota-kota besar, khususnya di negara berkembang, telah membuktikan bahwa tidak seharusnya kebutuhan pemenuhan air bersih ditransisi oleh perusahaan-perusahaan air menjadi bermotif keuntungan belaka. Pada kenyataannya perusahaan-perushaaan air swasta gagal meningkatkan kapasitas pemenuhan dan menyuplai kebutuhan air untuk yang membutuhkannya. Privatisasi air bukanlah solusi melainkan status quo yang sering dibirokratisasi dan menjadi tidak efektif (Belanya, 2005). Banyak pelajaran yang bisa didapati dari model partisipasi publik di Porto Alegre dan Racife di Brazil, di mana kebutuhan air bersih dipenuhi dengan meingkatkan partisipasi masyarakat. Di negara lain seperti di Argentina, Ghana, dan India, masayrakat lokal mengambil kontrol untuk meningkatkan pemenuhan air besih, memobilisasi kapasitas, dan kebutuhan lokal mereka.

Di Jakarta, dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa dan jumlah pelaju lebih dari 4 juta orang setiap harinya, kebutuhan air bersih yang dibutuhkan sangatlah besar. Tahun 2015 saja setidaknya diperlukan 950 juta meter kubik air untuk mencukupi kebutuhan harian penduduk, industri dan komersial. Layanan air permukaan melalu sistem perpipaan oleh PAM Jaya dan operatornya, baru mampu memasok 331  m3 atau sekitar 35%, sedangkan sisanya sebanyak 65% dapat dipastikan diambil dari air tanah karena buruknya kualitas air bersih pada sungai-sungai di Jakarta yang tidak dapat dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga. Pengambilan air tanah yang berlebihan dan tidak seimbang dengan banayaknya air yang bisa diresapkan kembali ke tanah berdampak pada penurunan tanah. Di Jakarta, fenomena penurunan tanah dicatat telah terjadi sejak awal 1990-an, penurunan tanah di Jakarta terjadi bervariasi antara 3-10 cm per tahun. Meskipun menjadi tumpuan utama sebagian besar warga Jakarta, perhatian terhadap air tanah masih sangat kurang. Jarang sekali air tanah menjadi isu sentral yang dibicarakan dalam kebijakan-kebijakan publik baik tingkat nasional maupun lokal.

Sama hal yang terjadi pada Kota Depok, pemakaian air tanah sebagai sumber air bersih terus meningkat seiring dengan pembangunan dan pengembangan Kota Depok. Kondisi air tanah Kota Depok juga sangat dipengaruhi oleh kondisi geologi dan sifat batuan penyusunnya yang terdiri dari batu lempeng, gamping, dan batu pasir menyebabkan ketersediaan air tanah bersifat fluktuatif. Kota Depok pada musim hujan memiliki debit air berlimpah dan pada musim kemarau mengalami penurunan yang cukup drastis. Selain itu, air permukaan di Kota Depok juga rawan terhadap pencemaran limbah domestik. Dalam hal ini, pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya air secara optimal agar dapat tetap memenuhi kebutuhan air bersih dengan pengelolaan air oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Depok.

Pada tahun 2018 suplai air bersih dari PDAM Kota Depok adalah sebesar 11.403.912 m3/tahun. Jika diasumsikan suplai pada tahun 2032 sama dengan pemakaian pada tahun 2018, maka jika dibandingkan dengan kebutuhan air bersih Kota Depok pada tahun 2018 yaitu sebesar 127.585.732 m3 per tahun, pemakaian air PDAM pada tahun 2018 hanya mencukupi 8,94% dari total kebutuhan air besih (Anggraini, N., 2018). Sisanya sebanyak 91,06% akan tetap menggunakan air tanah dan dengan proyeksi peningkatan jumlah penduduk, PDAM Kota Depok hanya akan mampu memunuhi kebutuhan air bersih sebanyak 3,51% penduduknya pada tahun 2032.

Pada Sabtu, 11 Januari 2020 lalu, Teras Kamala yang merupakan sebuah mimbar komunitas yang diprakrasai oleh Sendalu Permaculture mengadakan sebuah “Diskusi [c]Air” untuk menilik persoalan dan potensi air di Kota Depok. Diskusi yang dimoderatori oleh Feby Hendola Kaluara dari Teras Kemala ini, dimulai dengan pemaparan oleh Novita Anggaini yang berbagi pengalaman tentang project Labtek Apung sebagai upaya melestarikan air dengan meningkatkan kesadaran relasional antara kehidupan sehari-hari dengan air itu sendiri.

S0605142

Kemudian ada Heri Gonku dari Joglo Nusantara yang membahas tentang pentingnya Ruang Terbuka Publik (RTH) sebagai ruang umum sekaligus sebagai ruang tatap untuk membangun interaksi antar berbagai elemen masyarakat dalam suasana yang alami. Beliau menambahkan masifnya alih fungsi lahan di Kawasan lindung (sempadan) sungai dan situ saat ini, semakin dipicu oleh adanya sertifikasi kepemilikan privat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN). Berbeda dengan narasumber sebelumnya, Mushab A. A. Syahid sebagai tim ahli cagar budaya Depok dari Universitas Indonesia, membahas Kota Depok dari sudut pandang sejarah dan tradisi Bahasa lisan yang berkembang di masyarakat. Kata “depok” berhubungan kuat dengan “padepokan” yaitu tempat orang bernaung untuk sementara waktu demi mempelajari ilmu tertentu. Aktivitas ini dahulu kala sering dilakukan oleh raja-raja di Pulau Jawa yang mensyaratkan kualitas lingkungan alami dan seminimal mungkin terkena bentuk-bentuk lingkungan buatan (artificial) hasil sentuhan tangan manusia. Hal ini bertujuan demi menjauhkan diri dari keduniawian dan hiruk-pikuk manusia lainnya dan mencari ketenangan lahiriyah dan bataniyah. Oleh karena itu, air sangat krusial dalam membentuk identitas Kota Depok.

S0375111

 

Kegiatan diskusi ini merupakan langkah paling awal Teras Kamala mewadahi komunitas-komunitas dan masyarakat Kota Depok dalam membahas persoalan-persoalan tentang air. Harapannya, kegiatan ini dapat memproduksi ide-ide yang manantang untuk diujicobakan serta sejalan dengan meningkatnya partisipasi dan kepedulian warga serta komunitas di Kota Depok, terutama terhadap isu air dan lingkungan yang melestarikannya. Langkah awal ini penting juga untuk menepis privatisasi air, terutama di kota-kota berkembang, yang telah dipaparkan sebelumnya.

Referensi:

Belanya, Belen dkk. 2005. Reclaiming Public Water. Amsterdam.

Anggraini, Novita. 2018. Krisis Air Bersih di Depok pada https://www.youtube.com/watch?v=lCJimn5M82Q&t=27s

Penulis: Gehitto 
Penyunting: Feby Hendola Kaluara

 

Leave a comment